Sabtu, 10 Agustus 2013

GUS DUR DI MATA HABIB LUTHFI BIN YAHYA

   
GUS DUR DI MATA HABIB LUTHFI BIN YAHYA Memiliki jiwa dan anak keturunan yang shaleh adalah dambaan setiap muslim. Predikat “shaleh” bukanlah sembarangan predikat. Lihat bagaimana seorang nabi dan rasul serta berpredikat Khalilullah Sayyiduna Ibrahim As. saja masih mendambakan keshalehan dalam doanya: رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ “Robbi habliy minashshoolihiin” (Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shaleh). (QS. ash-Shaffaat ayat 100). Ketua Umum Jam’iyyah Ahlut Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah Maulana al-Habib Luthfi bin Yahya mengaku tidak bisa menyimpulkan apakah Gus Dur wali atau bukan, tetapi ia yakin Gus Dur orang yang shaleh. “Yang tahu wali hanya wali. Dan saya husnudzan billah beliau orang yang shaleh,” kata beliau seusai memberi taushiyah salah satu acara Maulid Nabi Saw. yang diselenggarakan Ansor NU. Beliau menjelaskan bahwa keshalehan atau kewalian seseorang tidak bisa diukur atau dibandingkan layaknya emas berapa karat. “Shaleh ya shaleh, keshalehan seseorang tidak bisa kita ukur, apalagi keauliyaan . Tinggal prasangka baik kita, apalagi Gus Dur yang sudah berbuat untuk umat ini, untuk bangsa ini,” tandas beliau. Lihat betapa seorang ulama besar masa ini, Rais ‘Am, Ketua Umum thariqat di Indonesia bahkan dunia, mengakui akan keshalehan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Seharusnya saya malu menganggap bahwa Gus Dur bukanlah siapa-siapa, apalagi sampai mencacinya. Lhah kita ini siapa dibanding beliau Maulana al-Habib Luthfi bin Yahya? Takkan terlupakan diri ini di setiap kali ta’lim hari Ahad pagi di Majelis Ta’lim al-Hikmah Ketitang Talang tegal, sang pembina yang mulia al-Habib Qasim bin Hasan bin Husein bin Syaikh Abubakar bin Salim semasa hidupnya tak pernah luput untuk senantiasa mendoakan dua nama ulama yang disejajarkan, yakni Gus Dur dan al-Habib Luthfi. Lahum al-Fatihah... http://pustakamuhibbin.blogspot.com/2013/07/gus-dur-di-mata-habib-luthfi-bin-yahya.html

Rabu, 07 Agustus 2013

TANGISNYA PARA PECINTA RAMADHAN

TANGISNYA PARA PECINTA RAMADHAN

“Di malam terakhir Ramadhan, menangislah tujuh petala langit dan tujuh petala bumi dan para malaikat, karena akan berlalunya Ramadhan, dan juga keistimewaannya.”

Waktu terus bergulir dari detik ke detik, dari menit ke menit, dari jam ke jam, dari hari ke hari, dari minggu ke minggu.... Rasanya baru kemarin kita begitu bersemangat mempersiapkan diri untuk memasuki bulan Ramadhan, bulan tarbiyah, bulan latihan, bulan Quran, bulan sa’adah, bulan maghfirah, bulan yang penuh berkah. Namun beberapa saat lagi, Ramadhan akan meninggalkan kita, padahal kita belum optimal melaksanakan qiyamul lail kita, belum optimal membaca Al-Quran serta belum optimal melaksanakan ibadah-ibadah lain, target-target yang kita pasang belum semuanya terlaksana. Dan kita tidak akan pernah tahu apakah kita masih dapat berjumpa dengan Ramadhan berikutnya.

Bagi para salafush shalih, setiap bulan Ramadhan pergi meninggalkan mereka, mereka selalu meneteskan air mata. Di lisan mereka terucap sebuah doa yang merupakan ungkapan kerinduan akan datangnya kembali bulan Ramadhan menghampiri diri mereka.

Orang-orang zaman dahulu, dengan berlalunya bulan Ramadhan, hati mereka mejadi sedih. Maka, tidak mengherankan bila pada malam-malam terakhir Ramadhan, pada masa Rasulullah SAW, Masjid Nabawi penuh sesak dengan orang-orang yang beri’tikaf. Dan di sela-sela i’tikafnya, mereka terkadang menangis terisak-isak, karena Ramadhan akan segera berlalu meninggalkan mereka.

Ada satu riwayat yang mengisahkan bahwa kesedihan ini tidak saja dialami manusia, tapi juga para malaikat dan makhluk-makhluk Allah lainnya. 

Dari Jabir RA, Rasulullah SAW bersabda, “Di malam terakhir Ramadhan, menangislah tujuh petala langit dan tujuh petala bumi dan para malaikat, karena akan berlalunya Ramadhan, dan juga keistimewaannya. Ini merupakan musibah bagi umatku.”

Kemudian ada seorang sahabat bertanya, “Apakah musibah itu, ya Rasulullah?”

“Dalam bulan itu segala doa mustajab, sedekah makbul, segala kebajikan digandakan pahalanya, dan siksaan kubur terkecuali, maka apakah musibah yang terlebih besar apabila semuanya itu sudah berlalu?”
Ketika mereka memasuki detik-detik akhir penghujung Ramadhan, air mata mereka menetes. Hati mereka sedih. 
Betapa tidak. Bulan yang penuh keberkahan dan keridhaan Allah itu akan segera pergi meninggalkan mereka. Bulan ketika orang-orang berpuasa dan menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah. Bulan yang Allah bukakan pintu-pintu surga, Dia tutup pintu-pintu neraka, dan Dia belenggu setan. Bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan, dan akhirnya pembebasan dari api neraka. Bulan ketika napas-napas orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada minyak kesturi. Bulan ketika Allah setiap malamnya membebaskan ratusan ribu orang yang harus masuk neraka. Bulan ketika Allah menjadikannya sebagai penghubung antara orang-orang berdosa yang bertaubat dan Allah Ta’ala.

Mereka menangis karena merasa belum banyak mengambil manfaat dari Ramadhan. Mereka sedih karena khawatir amalan-amalan mereka tidak diterima dan dosa-dosa mereka belum dihapuskan. Mereka berduka karena boleh jadi mereka tidak akan bertemu lagi bulan Ramadhan yang akan datang. 

Suatu hari, pada sebuah shalat ‘Idul Fithri, Umar bin Abdul Aziz berkata dalam khutbahnya, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian telah berpuasa karena Allah selama tiga puluh hari, berdiri melakukan shalat selama tiga puluh hari pula, dan pada hari ini kalian keluar seraya memohon kepada Allah agar menerima amalan tersebut.”

Salah seorang di antara jama’ah terlihat sedih. 

Seseorang kemudian bertanya kepadanya, “Sesungguhnya hari ini adalah hari bersuka ria dan bersenang-senang. Kenapa engkau malah bermuram durja? Ada apa gerangan?”

“Ucapanmu benar, wahai sahabatku,” kata orang tesrebut. “Akan tetapi, aku hanyalah hamba yang diperintahkan oleh Rabb-ku untuk mempersembahkan suatu amalan kepada-Nya. Sungguh aku tidak tahu apakah amalanku diterima atau tidak.”

Kekhawatiran serupa juga pernah menimpa para sahabat Rasulullah SAW. Di antaranya Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Diriwayatkan, di penghujung Ramadhan, Sayyidina Ali bergumam, “Aduhai, andai aku tahu siapakah gerangan yang diterima amalannya agar aku dapat memberi ucapan selamat kepadanya, dan siapakah gerangan yang ditolak amalannya agar aku dapat ‘melayatnya’.”

Ucapan Sayyidina Ali RA ini mirip dengan ucapan Abdullah bin Mas’ud RA, “Siapakah gerangan di antara kita yang diterima amalannya untuk kita beri ucapan selamat, dan siapakah gerangan di antara kita yang ditolak amalannya untuk kita ‘layati’. Wahai orang yang diterima amalannya, berbahagialah engkau. Dan wahai orang yang ditolak amalannya, keperkasaan Allah adalah musibah bagimu.” 

Imam Mu'alla bin Al-Fadhl RA berkata, "Dahulu para ulama senantiasa berdoa kepada Allah selama enam bulan agar dipertemukan dengan Ramadhan. Kemudian mereka juga berdoa selama enam bulan agar diterima amal ibadah mereka (selama Ramadhan)."

Wajar saja, sebab, tidak ada yang bisa menjamin bahwa tahun depan kita akan kembali berjumpa dengan bulan yang penuh berkah, rahmat, dan maghfirah ini. Karenanya, beruntung dan berbahagialah kita saat berpisah dengan Ramadhan membawa segudang pahala untuk bekal di akhirat. 

Jika kita merenungi kondisi salafush shalih dan meneliti bagaimana mereka menghabiskan waktu-waktu mereka di bulan Ramadhan, bagaimana mereka memakmurkannya dengan amal shalih, niscaya kita mengetahui jauhnya jarak di antara kita dan mereka.

Bagaimana dengan kita? Adakah kesedihan itu hadir di hati kita di kala Ramadhan meninggalkan kita? Atau malah sebaliknya, karena begitu bergembiranya menyambut kedatangan Hari Raya ‘Idul Fithri, sampai-sampai di sepuluh hari terakhir, yang seharunya kita semakin giat melaksanakan amalan-amalan ibadah, kita malah disibukkan dengan belanja, membeli baju Lebaran, disibukkan memasak, membuat kue, dan lain-lain. 

Padahal di sisi lain, masih banyak orang di sekitar kita yang berjuang untuk mendapatkan sesuap nasi untuk berbuka hari ini, bukan untuk besok, apalagi untuk pesta pora di hari Lebaran.

Tapi apakah salah bila kita menyongsong Hari Raya ‘Idul Fithri dengan kegembiraan? Tentu saja tidak. Bukankah Rasulullah SAW telah mengatakan, “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum mempunyai hari raya, dan sesungguhnya hari ini adalah hari raya kita.” (HR Nasa’i). 
Wallahu a'lam Bisshowab.... —dan Kami sekeluarga Menghaturkan ''Selamat menyambut Hari Raya Iedul Fitri 1 Syawal 1434 ,mohon ma'af lahir dan Batin,ter'iring doa 'Ja'lanallahu Wa iyyakum Minal A'idina Wal Fazin Wal Maqbulin fi kulli Amin Wa antum bi khoir...''(H.Zimam Hanifun Nusuk Krapyak Pekalongan)TANGISNYA PARA PECINTA RAMADHAN

“Di malam terakhir Ramadhan, menangislah tujuh petala langit dan tujuh petala bumi dan para malaikat, karena akan berlalunya Ramadhan, dan juga keistimewaannya.”

Waktu terus bergulir dari detik ke detik, dari menit ke menit, dari jam ke jam, dari hari ke hari, dari minggu ke minggu.... Rasanya baru kemarin kita begitu bersemangat mempersiapkan diri untuk memasuki bulan Ramadhan, bulan tarbiyah, bulan latihan, bulan Quran, bulan sa’adah, bulan maghfirah, bulan yang penuh berkah. Namun beberapa saat lagi, Ramadhan akan meninggalkan kita, padahal kita belum optimal melaksanakan qiyamul lail kita, belum optimal membaca Al-Quran serta belum optimal melaksanakan ibadah-ibadah lain, target-target yang kita pasang belum semuanya terlaksana. Dan kita tidak akan pernah tahu apakah kita masih dapat berjumpa dengan Ramadhan berikutnya.

Bagi para salafush shalih, setiap bulan Ramadhan pergi meninggalkan mereka, mereka selalu meneteskan air mata. Di lisan mereka terucap sebuah doa yang merupakan ungkapan kerinduan akan datangnya kembali bulan Ramadhan menghampiri diri mereka.

Orang-orang zaman dahulu, dengan berlalunya bulan Ramadhan, hati mereka mejadi sedih. Maka, tidak mengherankan bila pada malam-malam terakhir Ramadhan, pada masa Rasulullah SAW, Masjid Nabawi penuh sesak dengan orang-orang yang beri’tikaf. Dan di sela-sela i’tikafnya, mereka terkadang menangis terisak-isak, karena Ramadhan akan segera berlalu meninggalkan mereka.

Ada satu riwayat yang mengisahkan bahwa kesedihan ini tidak saja dialami manusia, tapi juga para malaikat dan makhluk-makhluk Allah lainnya.

Dari Jabir RA, Rasulullah SAW bersabda, “Di malam terakhir Ramadhan, menangislah tujuh petala langit dan tujuh petala bumi dan para malaikat, karena akan berlalunya Ramadhan, dan juga keistimewaannya. Ini merupakan musibah bagi umatku.”

Kemudian ada seorang sahabat bertanya, “Apakah musibah itu, ya Rasulullah?”

“Dalam bulan itu segala doa mustajab, sedekah makbul, segala kebajikan digandakan pahalanya, dan siksaan kubur terkecuali, maka apakah musibah yang terlebih besar apabila semuanya itu sudah berlalu?”
Ketika mereka memasuki detik-detik akhir penghujung Ramadhan, air mata mereka menetes. Hati mereka sedih.
Betapa tidak. Bulan yang penuh keberkahan dan keridhaan Allah itu akan segera pergi meninggalkan mereka. Bulan ketika orang-orang berpuasa dan menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah. Bulan yang Allah bukakan pintu-pintu surga, Dia tutup pintu-pintu neraka, dan Dia belenggu setan. Bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan, dan akhirnya pembebasan dari api neraka. Bulan ketika napas-napas orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada minyak kesturi. Bulan ketika Allah setiap malamnya membebaskan ratusan ribu orang yang harus masuk neraka. Bulan ketika Allah menjadikannya sebagai penghubung antara orang-orang berdosa yang bertaubat dan Allah Ta’ala.

Mereka menangis karena merasa belum banyak mengambil manfaat dari Ramadhan. Mereka sedih karena khawatir amalan-amalan mereka tidak diterima dan dosa-dosa mereka belum dihapuskan. Mereka berduka karena boleh jadi mereka tidak akan bertemu lagi bulan Ramadhan yang akan datang.

Suatu hari, pada sebuah shalat ‘Idul Fithri, Umar bin Abdul Aziz berkata dalam khutbahnya, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian telah berpuasa karena Allah selama tiga puluh hari, berdiri melakukan shalat selama tiga puluh hari pula, dan pada hari ini kalian keluar seraya memohon kepada Allah agar menerima amalan tersebut.”

Salah seorang di antara jama’ah terlihat sedih.

Seseorang kemudian bertanya kepadanya, “Sesungguhnya hari ini adalah hari bersuka ria dan bersenang-senang. Kenapa engkau malah bermuram durja? Ada apa gerangan?”

“Ucapanmu benar, wahai sahabatku,” kata orang tesrebut. “Akan tetapi, aku hanyalah hamba yang diperintahkan oleh Rabb-ku untuk mempersembahkan suatu amalan kepada-Nya. Sungguh aku tidak tahu apakah amalanku diterima atau tidak.”

Kekhawatiran serupa juga pernah menimpa para sahabat Rasulullah SAW. Di antaranya Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Diriwayatkan, di penghujung Ramadhan, Sayyidina Ali bergumam, “Aduhai, andai aku tahu siapakah gerangan yang diterima amalannya agar aku dapat memberi ucapan selamat kepadanya, dan siapakah gerangan yang ditolak amalannya agar aku dapat ‘melayatnya’.”

Ucapan Sayyidina Ali RA ini mirip dengan ucapan Abdullah bin Mas’ud RA, “Siapakah gerangan di antara kita yang diterima amalannya untuk kita beri ucapan selamat, dan siapakah gerangan di antara kita yang ditolak amalannya untuk kita ‘layati’. Wahai orang yang diterima amalannya, berbahagialah engkau. Dan wahai orang yang ditolak amalannya, keperkasaan Allah adalah musibah bagimu.”

Imam Mu'alla bin Al-Fadhl RA berkata, "Dahulu para ulama senantiasa berdoa kepada Allah selama enam bulan agar dipertemukan dengan Ramadhan. Kemudian mereka juga berdoa selama enam bulan agar diterima amal ibadah mereka (selama Ramadhan)."

Wajar saja, sebab, tidak ada yang bisa menjamin bahwa tahun depan kita akan kembali berjumpa dengan bulan yang penuh berkah, rahmat, dan maghfirah ini. Karenanya, beruntung dan berbahagialah kita saat berpisah dengan Ramadhan membawa segudang pahala untuk bekal di akhirat.

Jika kita merenungi kondisi salafush shalih dan meneliti bagaimana mereka menghabiskan waktu-waktu mereka di bulan Ramadhan, bagaimana mereka memakmurkannya dengan amal shalih, niscaya kita mengetahui jauhnya jarak di antara kita dan mereka.

Bagaimana dengan kita? Adakah kesedihan itu hadir di hati kita di kala Ramadhan meninggalkan kita? Atau malah sebaliknya, karena begitu bergembiranya menyambut kedatangan Hari Raya ‘Idul Fithri, sampai-sampai di sepuluh hari terakhir, yang seharunya kita semakin giat melaksanakan amalan-amalan ibadah, kita malah disibukkan dengan belanja, membeli baju Lebaran, disibukkan memasak, membuat kue, dan lain-lain.

Padahal di sisi lain, masih banyak orang di sekitar kita yang berjuang untuk mendapatkan sesuap nasi untuk berbuka hari ini, bukan untuk besok, apalagi untuk pesta pora di hari Lebaran.

Tapi apakah salah bila kita menyongsong Hari Raya ‘Idul Fithri dengan kegembiraan? Tentu saja tidak. Bukankah Rasulullah SAW telah mengatakan, “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum mempunyai hari raya, dan sesungguhnya hari ini adalah hari raya kita.” (HR Nasa’i).
Wallahu a'lam Bisshowab.... —dan Kami sekeluarga Menghaturkan ''Selamat menyambut Hari Raya Iedul Fitri 1 Syawal 1434 ,mohon ma'af lahir dan Batin,ter'iring doa 'Ja'lanallahu Wa iyyakum Minal A'idina Wal Fazin Wal Maqbulin fi kulli Amin Wa antum bi khoir...''(H.Zimam Hanifun Nusuk Krapyak Pekalongan)

Caci Maki, Fitnah,di kafir2kan adalah hal yg biasa di rasakan Para Ulama

Caci Maki, Fitnah,di kafir2kan adalah hal yg biasa di rasakan Para Ulama

Inilah Akhlak Grand Shaikh Al-Azhar terhadap Orang yang Memusuhinya

Para ulama Al-Azhar yang istiqamah dengan manhaj Al-Azhar senantiasa mengalami cacian dan celaan dari orang-orang yang tidak sejalan dengan manhaj Al-Azhar yang moderat dan toleran. Grand Shaikh Al-Azhar Prof. Dr. Ahmad Thayeb adalah simbol utama Al-Azhar yang patut dijadikan teladan oleh umat Islam. Di tengah kondisi politik Mesir yang tidak stabil seperti saat ini, ada sebagian kalangan yang berusaha sekuat tenaga untuk mendeskriditkan sosok Dr. Ahmad Thayeb dengan tujuan untuk melengserkan beliau dari amanah saat ini: Grand Shaikh Al-Azhar. Namun, beliau sama sekali tidak pernah menyimpan dendam terhadap para pendengki tersebut, bahkan beliau membalas mereka semua dengan kebaikan. Beliau meneladani akhak ‘kakek’ beliau, Baginda Rasulullah SAW.

Inilah fakta-fakta keteladan beliau di zaman yang penuh fitnah seperti saat ini:

1- Kurang lebih setahun yang lalu, Syekh Yusuf Al-Qardhawi mengunjungi Grand Shaikh. Beliau menyambut, memeluk, dan memuji Al-Qardhawi. Tidak lama kemudian, Al-Qardhawi diwawancari oleh harian asy-Syuruq. Dalam wawancara tersebut dia mencela Grand Shaikh dan menuduh bahwa beliau tidak memiliki kapasitas untuk memimpin Al-Azhar, dan tuduhan-tuduhan lainnya. Tuduhan-tuduhan tersebut telah dibantah oleh Syekh Hasan Syafi’i yang saat itu menjabat sebagai konsultan Grand Shaikh Al-Azhar.
Kemudian beberapa waktu lalu, Al-Qardhawi mengulangi lagi cacian dan celaannya kepada Grand Shaikh, sehingga membuat para ulama Al-Azhar tidak terima dan meminta agar keanggotaan Al-Qardhawi di Dewan Ulama Senior Al-Azhar (Haiah Kibar Ulama) dicabut (baca: Al-Azhar Tolak Permintaan Cabut Keanggotaan Al-Qardhawi). Namun, Grand Shaikh tetap memaafkan Al-Qardhawi dan tidak setuju dengan permintaan tersebut.

2- Kurang dari setahun yang lalu, tersebar sebuah video ceramah seorang dai salafi yang bernama Yasir Burhami yang didampingi oleh Muhammad Hassan. Di dalam video tersebut dia menuntut agar Syekh Ahmad Thayeb dicopot dari jabatan Grand Shaikh Al-Azhar. Namun, beberapa waktu setelah itu, Yasir Burhami dan rombongan salafi mendatangi kantor Grand Shaikh untuk menyatakan dukungan terhadap Al-Azhar, bersikap manis di hadapan Grand Shaikh, dan berusaha menyangkal isi video yang sudah terlanjur tersebar luas di Youtube. Lagi-lagi, Grand Shaikh memaafkan dan menyambut rombongan salafi tersebut dengan ramah dan penuh hormat.

3- Meskipun para pimpinan Jamaah Ikhwanul Muslimin dan jamaah-jamaah Islam radikal lainnya terus-menerus mencela dan mencaci-maki Grand Shaikh Al-Azhar di panggung-panggung demonstrasi. Namun Grand Shaikh tidak menyimpan dendam terhadap mereka, bahkan meminta kepada pemerintah agar membebaskan tahanan politik dari kalangan Ikhwanul Muslimin dan jamaah-jamaah lainnya.

4- Syekh Mahmud Sya’ban pernah mengajak rakyat Mesir untuk demo besar-besaran demi melengserkan Grand Shaikh Al-Azhar, dan meminta Morsi saat masih menjabat sebagai Presiden agar mencopot jabatan Grand Shaikh. Namun, Grand Shaikh mengecam peristiwa penghinaan dan pelecehan yang menimpa Syekh Mahmud Sya’ban di bundaran Tahrir baru-baru ini, serta meminta aparat agar mengusut dan menangkap para pelakunya.

Itulah ulama Al-Azhar dan itulah akhlak Grand Shaik Al-Azhar yang selama ini berusaha dikriminalisasi oleh media-media yang benci dan dengki terhadap Grand Shaikh. Beliau senantiasa membalas keburukan dengan kebaikan, memaafkan, dan mengatakan yang benar.(mosleminfo.com)
Foto
Inilah Akhlak Grand Shaikh Al-Azhar terhadap Orang yang Memusuhinya

Para ulama ...
Design by Gus Cholies Visit Original Post Islamic2 Template